RIANA Leonardo Agastya Aku berjalan menyusuri trotoar dengan raut tak menentu. Sedih, marah, atau kecewa, semuanya menyatu. Aku terus melangkah. Hingga tiba-tiba langkahku terhenti pada sebuah etalase yang memamerkan beragam cermin. Mataku terpusat pada salah satu cermin dengan model feminin. Tidak terlalu besar dan warnanya merah jambu. Aku memandang diriku sejenak pada cermin itu. Sungguh kacau diriku. Semakin lama, diriku seakan-akan dihisap oleh cermin itu dan sebuah lorong yang tak tergambarkan dengan jelas membawaku pada kejadian tiga hari sebelumnya. Aku duduk di sebuah kafe kecil yang berada di pinggiran kota. Siang itu, aku membaca sambil menikmati secangkir kopi pahit. Tak terasa aku telah membaca selama tiga jam hingga hari sudah malam. Ketika aku berkemas untuk pulang ke rumah, seorang wanita menegurku, “Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono?” Tanya wanita itu penasaran. Nampaknya, wanita itu menanyakan buku yang aku pegang. “Iya.” Jawabku. “Oh iya. A...